Kamis, 29 Oktober 2009

Artikel : KEADILAN UPAH BAGI BURUH

PROBLEMA KEADILAN UPAH BAGI BURUH

(oleh : Gindo Nadapdap)

Pendahuluan

Setiap tahun buruh di Indonesia selalu dikecewakan oleh keputusan pemerintah tentang Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota. Kecewa, karena kenaikan upah yang terjadi tidak pernah sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Benar secara nominal setiap tahun upah buruh naik (misalnya UMP Sumut 2006 sebesar Rp.637.000,- dinaikkan menjadi Rp.761.000,- UMP 2008), tetapi bukan berarti secara riel peningkatan upah berarti peningkatan kesejahteran. Bisa saja upah buruh mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi kenaikan upah lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga-harga mengakibatkan daya beli dari upah buruh lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Tentu kita belum lupa bagaimana pemerintah sudah menaikkan harga BBM sebesar 300% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dimana kenaikan BBM tersebut pasti diikuti dengan kenaikan seluruh harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Dan ini tidak sebanding dengan persentase kenaikan upah buruh pada 5 tahun terakhir di seluruh Indonesia yang belum mencapai 300%. Dengan demikian dapatlah disimpulkan sebenarnya belum pernah terjadi kenaikan upah buruh, tetapi yang terjadi hanya sekedar penyesuaian upah dengan kenaikan harga-harga kebutuhan. Itupun sampai sekarang belum sesuai.

Dalam sejarah pengupahan buruh di Indonesia (pasca kemerdekaan) kualitas upah dari waktu ke waktu mengalami degradasi. Pada jaman Orde Lama upah diberikan dalam dua bentuk yaitu upah nominal dan tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya berupa beras, ikan asin, minyak goreng, dll. Bahkan dikenal istilah Catu-11 terdiri dari 11 jenis kebutuhan pokok sehari-hari bagi buruh dan keluarga yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian kebutuhan fisik buruh dan keluarganya dijamin, disamping juga menerima upah dalam bentuk uang nominal. Sisa-sisa catu 11 tersebut sampai sekarang masih ditemukan di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, al : tunjangan beras dan minyak goreng setiap bulan yang diberikan pengusaha.

Setelah Orde Baru, terjadi perubahan yang dashyat. Kebijakan upah murah dijadikan primadona untuk menarik investor asing. Kabar tentang catu-11 raib tak jelas kuburannya, bahkan peraturannyapun tidak dapat ditemukan. Sebelum kebijakan UMR ditetapkan tahun 1995, tidak ada ketentuan yang jelas mengatur upah buruh sehingga pengusaha leluasa memberikan upah yang murah kepada buruh.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini, telah mendorong buruh melakukan pemogokan besar-besaran dari tahun 1990 – 1994, yang akhirnya memaksa pemerintah menetapkan Upah Minimum Regional setiap bulan April sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 yang kemudian diubah menjadi Upah Minimum Propinsi.

Krisisi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 yang kemudian membuat Indonesia masuk kepada perangkap kapitalisme global, pada perkembangannya mengakibatkan perlindungan Negara terhadap upah buruh semakin tidak jelas. Kebijakan upah murah tetap menjadi primadona untuk menarik investor asing. Katanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran yang terus bertambah. Walaupun pada kenyataannya tidak pernah dapat mengatasi atau setidak-tidaknya mengurangi pengangguran.

Dipaksakannya UU No. 13 tahun 2003 berlaku dengan sistem flm (fleksibility labour market system) kemudian mengakibatkan pengupahan buruh semakin runyam. Penerapan buruh kontrak dan outsourcing secara bebas tanpa control pemerintah, pada akhirnya telah membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ke depan, pengupahan buruh akan semakin menyulitkan buruh, jika perjuangan Pengusaha melalui Apindo dan Kadin berhasil menghapuskan campur tangan pemerintah melalui penetapan upah minimum dan menggantinya dengan penentuan upah berdasarkan kepentingan pasar. Jika ini menjadi kenyataan, maka tidak akan ada lagi perlindungan Negara terhadap upah buruh.

Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa perjuangan buruh Indonesia atas hak penghidupan (pengupahan) yang layak akan semakin sulit. Namun demikian, buruh tidak boleh menyerah karena jika buruh diam, maka akan semakin leluasalah pengusaha dan penguasa menghisap dan memeras tenaga buruh dengan sangat murah.

Upah Layak vs Upah Minimum

Pengaturan upah layak bagi buruh dapat ditemukan pada berbagai ketentuan. Diantaranya DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) yang menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diantaranya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan kebutuhan sosial. Indonesia adalah salah satu negara yang sudah meratifikasi DUHAM, sehingga memiliki kewajiban dan pertanggung-jawaban terhadap dunia internasional untuk menjamin bahwa buruh menerima upah yang layak.

Indonesia sendiri sebagai negara hukum telah menjamin penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya (Pasal 27 UUD 1945). Bagi buruh penghasilan tersebut diterjemahkan sebagai upah. Selanjutnya Pasal 88 UU No. 13 tahun 2003 mengatur bahwa penetapan upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan yang hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya.

Lantas apa yang dimaksud dengan upah layak ? Seseorang menjadi buruh adalah karena dia sama sekali tidak memiliki modal (alat-alat produksi) untuk berusaha sendiri. Buruh tidak memiliki modal seperti halnya petani yang memiliki tanah dan alat pertanian, atau seperti tukang yang memiliki alat-alat pertukangan. Oleh karenanya buruh menjual tenaganya kepada pemilik modal agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja tersebutlah maka si buruh akan menerima upah sebagai imbalan atas tenaganya, sehingga si buruh mampu memenuhi segala biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerjanya yang sehat secara fisik dan di pabrik.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi sebagai berikut :

- Kebutuhan fisik meliputi segala kebutuhan untuk menjaga kesehatan fisik (raga) buruh agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja. Kebutuhan ini meliputi : kebutuhan gizi, baik untuk tubuh maupun otak.

- Kebutuhan beristirahat. Dibutuhkan biaya untuk menciptakan kesempatan beristirahat dan memulihkan tenaga yang telah dihabiskan dalam proses produksi antara lain : komponen biaya untuk tempat tinggal (termasuk listrik dan air) dan rekreasi.

- Kebutuhan atas kesehatan fisik dan lingkungannya antara lain dengan mandi, berpakaian layak dan sehat, dan berolahraga.

- Kebutuhan transportasi. Dibutuhkan sejumlah biaya untuk menghadirkan si buruh secara fisik di pabrik-pabrik.

- Kebutuhan mental meliputi hal bagaimana buruh mampu menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Buruh harus mampu meningkatkan dirinya, meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial semacam gaptek. Ia harus memiliki kesempatan membaca, mendengar dan menonton berita, mendapatkan buku-buku-bukuyang dapat menuntunnya memahami dunia.

- Kebutuhan komunikasi. Seorang buruh sebagai manusia, juga memiliki kebutuhan komunikasi yang perlu diberi alokasi secara wajar untuk berkomunikasi jarak jauh dalam komponen upah.

- Kebutuhan berkeluarga. Setiap orang butuh untuk mendapatkan pasangan hidup dan meneruskan keturunannya. Hal ini sesuai dengan tuntutan sosial dan spritualyang diberlakukan masyarakat. Karenanya, perhitungan upah tidak boleh berdasarkan kebutuhan lajang semata, tetapi harus memperhitungkan kebutuhan untuk berkeluarga. Dengan kata lain kebutuhan isteri dan anak-anak buruh haruslah dihitung dalam menentukan upah.

Penegasan kebutuhan hidup layak sebagai dasar penetapan upah layak bagi buruh dan keluarganya walau sudah tegas diatur pada konstitusi, kemudian hanyalah slogan semata. Karena kemudian pemerintah kita menghilangkannya dengan PMTK No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Peraturan ini meminimalisasi upah layak dengan standart kebutuhan hidup lajang dengan komponen-komponen yang sangat minimal.

Berbagai dalil untuk mendukung pertumbuhan investasi di Indonesia menjadikan buruh sebagai korban yang harus menerima upah murah (upah minimum). Kegagalan pemerintah membangun infrastruktur (seperti fasilitas jalan yang lancar, dll), menjaga keamanan, membangun birokrasi yang sehat dan bersih, memberantas korupsi dan pungutan liar, dan lain-lain, selalu diabaikan dan terus mempertahankan kebijakan upah murah sebagai primadona penarik investor asing. Keadaan ini menjadikan upah layak seolah-olah mimpi bagi buruh yang sangat sulit diwujudkan.

Lahirnya PMTK No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak telah memupus harapan buruh untuk memperoleh upah yang layak, karena beberapa alasan sebagai berikut :

- Penentuan upah minimum didasarkan pada standart kebutuhan seorang lajang.

- Penetapan upah minimum didasarkan pada nilai KHL kabupaten/kota terendah di propinsi yang bersangkutan.

- Penetapan upah minimun ditetapkan dengan gubernur dengan mempertimbangkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu.

- Harga komponen-komponen kebutuhan yang dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum pada umumnya merupakan harga-harga terendah.

Dengan demikian sepanjang PMTK 17 berlaku, maka buruh jangan berharap penetapan upah dapat menjadi layak. Ditambah lagi dengan problem Dewan Pengupahan yang dikuasasi oleh kepentingan Pengusaha. Perwakilan Pengusaha dan Pemerintah termasuk akademisi selalu berkolaborasi untuk mempertahankan kebijakan upah murah. Jika voting terjadi, maka suara buruh pasti kalah.

Propaganda pemerintah tentang KHL sebagai dasar penetapan upah sebenarnya merupakan suatu kebohongan. Hanya perubahan istilah saja yang terjadi, dulu dikenal upah berdasar KFM (Kebutuhan Fisik Minimum), lalu upah berdasarkan KHM (Kebutuhan Hidup Minium) dan Sekarang memakai istilah KHL (Kebutuhan Hidup Layak. Tetapi pada hakekatnya sampai sekarang tidak benar KHL telah dipergunakan sebagai dasar penetapan upah, karena PMTK 17 Pasal 5 sendiri telah menyatakan : bahwa penetapan upah minimum dilaksanakan secara bertahap dan tahapan pencapaian KHL tersebut ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan kondisi pasar kerja, usaha yang paling tidak mampu (marginal) di Propinsi/Kabupaten/Kota serta saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Propinsi/ Kabupaten/Kota.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut, maka PMTK 17 merupakan penghalang penetapan upah layak. Kebijakan Upah Minimum (Murah) masih merupakan garis kebijakan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, maka upah buruh di Indonesia tergolong rendah. Malaysia, Hongkong dengan upah yang lebih tinggi, justeru menghadirkan investasi yang yang banyak dari Indonesia. Investor justeru hengkang dari Indonesia ke negara-negara tetangga.

Di samping itu perjuangan buruh Indonesia jangan semata-mata mempersoalkan persentasi kenaikan upah setiap tahun. Tetapi harus dapat merubah kebijakan upah dan upah murah menjadi upah layak. Pada tingkat nasional PMTK 17 harus diperjuangkan dicabut. Sedangkan ditingkat Propinsi dapat menuntut kepada Gubernur agar membuat peraturan daerah tentang tahapan pencapaian khl sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PMTK 17.

1 komentar: