Sabtu, 12 Februari 2022

600.000 Buruh di Sumut Belum Ikut Jamsostek

Lebih dari 600.000 pekerja formal di Sumatera Utara belum terlindungi jaminan sosial tenaga kerja. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya sosialisasi perlunya jaminan sosial tenaga kerja kepada pekerja dan perusahaan, hal ini juga ditambah lemahnya penegakan hukum terhadap para pengusaha yang melanggar ketentuan ketenagakerjaan.

Data PT Jamsostek menunjukkan, jumlah perusahaan di Sumut mencapai 11.000 dengan jumlah pekerja lima juta orang. Sebanyak satu juta orang buruh di sektor formal (perusahaan yang mempunyai status hukum) dan empat juta sisanya di sektor informal. Sejauh ini baru 376.000 pekerja formal di Sumut yang terdaftar di Jamsostek. Sementara jumlah pekerja informal di Sumut yang belum terdaftar di Jamsostek jauh lebih banyak lagi, mencapai empat juta orang.

Kepala Kantor Wilayah I PT Jamsostek Mas’ud Muhammad, Rabu (3/6) di Medan, mengatakan, kebanyakan perusahaan yang belum melindungi tenaga kerjanya adalah perusahaan kecil dengan jumlah tenaga kerja 10 orang ke bawah.

”Masih banyak anggapan bahwa Jamsostek seperti asuransi yang pengurusannya berbelit-belit. Banyak pula yang masih beranggapan Jamsostek hanya potongan gaji tanpa diketahui manfaatnya,” tutur Mas’ud. ”Ini menjadi pekerjaan kami untuk terus menyosialisasikan pentingnya Jamsostek kepada pekerja dan perusahaan,” tutur Mas’ud.

April 2009 terdapat 2.291 perusahaan yang tercatat di Jamsostek Sumut dari 5.428 perusahaan Hingga yang terdaftar menunggak pembayaran jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) dengan nilai tunggakan Rp 91,6 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak 645 perusahaan menunggak satu hingga tiga bulan dengan nilai tunggakan Rp 7,9 miliar dan 219 perusahaan menunggak empat hingga enam bulan senilai Rp 1,6 miliar.

Adapun perusahaan yang menunggak lebih dari enam bulan sebanyak 758 perusahaan dengan nilai tunggakan Rp 66,9 miliar. Sisanya sebanyak 669 perusahaan menunggak lebih dari 12 bulan dengan nilai tunggakan Rp 14,9 miliar.

Pekan lalu, Jamsostek melakukan kerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Medan untuk membawa kasus-kasus tunggakan itu ke kejaksaan. ”Kami akan membawa kasus ke kejaksaan setelah teguran pertama dan kedua serta kunjungan Jamsostek tidak ditanggapi,” tutur Mas’ud.

Pelaksana Humas PT Jamsostek Wilayah I Sumut Sanco Manulang mengatakan bahwa masih ada 2.085 perusahaan di Sumut yang merupakan perusahaan wajib, tetapi belum mendaftarkan pekerjanya ke Jamsostek. Sementara jumlah perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian karyawannya sebanyak 739 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 18.928 orang.

Hingga April 2009 tercatat Jamsostek melayani 20.202 kasus di Sumut dengan nilai yang dibayarkan Rp 122 miliar. Sebanyak 16,643 kasus merupakan kasus jaminan hari tua dengan nilai Rp 96,5 miliar. elf/kom

Jumat, 30 Oktober 2009

Artikel PHK


IJIN DAN LARANGAN PHK

Oleh : Gindo Nadapdap

PENDAHULUAN

Tingkat pengangguran di Indonesia semakin memprihatinkan. Menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah pengangur di Indonesia tahun 2007 mencapai 38 juta. Terdiri dari pengangur terbuka (9.132.104 orang) dan setengah penganggur ( 28.869.000 orang ).

Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27 menyebutkan “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi Kemanusiaan”.

Namun setelah 62 tahun Republik Indonesia merdeka, pasal 27 tersebut tak kunjung terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin menderita. Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan tangkapan ikan, kaum miskin kota tergusur dan buruh kehilangan pekerjaannya. Sementara pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat. Akibatnya angka pengangguran tetap tinggi.

Padahal intisari dari UUD 1945 Pasal 27 diatas adalah, bahwa sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk menjamin tersedianya pekerjaan dan penghidupan bagi rakyatnya. Menjamin tersedianya lapangan kerja bagi rakyat dan menjamin setiap orang tidak kehilangan pekerjaan dan penghidupannya. Dengan demikian penghilangan hak orang atas pekerjaannya, yang lazim disebut dengan PHK (Pemutusan hubungan kerja) adalah melanggar UUD 1945.

Namun pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang layak. Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan masih jauh dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki pekerjaan (walau ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan pekerjaan dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

LARANGAN PHK

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak-hak dan kewajiban (prestasi dan kontra-prestasi) antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (Pasal 1 angka 25) UUK No 13 Tahun 2003.

Prinsip utama PHK adalah dipersulit. Oleh karena itu dalam hal-hal tertentu pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap Pekerja/Buruh, walaupun si Pekerja/Buruh tidak dapat melaksanakan kewajiban bekerja sesuai dengan perintah di Pengusaha.

Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (Pasal 153 ayat 1) dengan tegas menyebutkan, bahwa Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan buruh :

- pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

- pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

- pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

- pekerja/buruh menikah;

- pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

- pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

- pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

- pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

- karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

- pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

PHK karena alasan-alasan tersebut, adalah batal demi hukum (batal dengan sendirinya) dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh tersebut.

Jika Pengusaha melakukan PHK karena alasan-alasan tersebut, maka lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial baik Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah harus membatalkannya dan memerintahkan Pengusaha untuk mempekerjakan Pekerja/Buruh.

IJIN PENETAPAN PHK

Dalam hal-hal tertentu Pengusaha diperbolehkan melakukan PHK. Tetapi PHK tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau semena-mena. Sebelum pengusaha memberikan surat PHK kepada pekerja/ buruh, Pengusaha harus terlebih dahulu meminta ijin penetapan PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 menegaskan : ”permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai dengan alasan yang menjadi dasarnya”. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud tersebut adalah PHI berdasarkan UU No. 2 tahun 2004.

Dengan demikian kewajiban untuk mengajukan perselisihan PHK dalam bentuk permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada PHI sebenarnya adalah kewajiban pengusaha untuk memperoleh ijin melakukan PHK. Karena tanpa ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial, Pengusaha tidak boleh melakukan PHK, terkecuali tercapai kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada perundingan bipartit atau mediasi.

Dengan demikian tegas kewajiban mengajukan permohonan penetapan PHK adalah kewajiban Pengusaha, terkecuali dalam hal sebagaimana dimaksud pada Pasal 169 ayat 1, yaitu :

”Pekerja/Buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :

a. Menganiaya, menghina secara kasar dan mengancam pekerja/buruh ;

b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ;

c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih ;

d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh ;

e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan ; atau

f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Tetapi dalam hal tersebut, apabila tidak terbukti di persidangan Pengadilan Hubungan Industrial maka Pengusaha dapat melakukan PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan Pekerja/Buruh yang bersangkutan tidak berhak atas pesangon dan uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (2) dan (3)UU No.13), tetapi jika terbukti maka Pekerja/Buruh berhak atas pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta penggantian hak sebesar 2 kali ketentuan.

ALASAN-ALASAN PHK

1. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003, sebagai berikut :

a. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikot- ropika, dan additif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan a-susila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara ; atau

j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam Peraturan Perusahaan /Perjanjian Kerja Bersama. Akan tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang.

Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi Surat Peringatan (baik berturut-turut, atau Surat Peringatan Pertama dan Terakhir) untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB.

PHK yang dilakukan dengan alasan kesalahan berat tersebut harus benar-benar memperhatikan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158 ;Pasal 159 ; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenal anak kalimat “….bukan atas pengaduan pengusaha “;Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat ….Pasal 158 ayat (1) … ” Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …. ” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.,

2. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.

3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal – hal sebagai berikut :

a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat ( eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003.

4. Dalam hal terdapat “alasan mendesak “ yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Hak Pekerja/Buruh yang di PHK karena Kesalahan Berat

Pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan alasan kesalahan berat, dapat memperoleh uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 ayat (4). Dan Bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain mendapat uang penggantian hak, diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur (ditentukan) dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama;

Yang dimaksud dengan pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya mewakili kepentingan pengusaha adalah pekerja/buruh yang karena jabatannya (ex -officio) menduduki jabatan tertentu sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama. Jabatan-jabatan tertentu tersebut, dapat ditentukan satu persatu berdasarkan kepentingan (manajemen) perusahaan atau ditentukan level tertentu secara menyeluruh keatas.

Sebagaimana disebutkan bahwa PHK adalah merupakan kesalahan berat adalah merupakan salah satu jenis PHK tidak memerlukan ijin dari lembaga PPHI (Pasal 171 jo Pasal 158 ayat (1). Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dan pekerja/buruh tidak menerima PHK tersebut, maka pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga PPHI atas PHK dimaksud (Pasal 159 UU No. 13 tahun 2003).

2. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pekerja/Buruh Ditahan

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang setelah selama 6 (enam) bulan (berturut-turut) tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana tanpa ijin dari lembaga PPHI (pasal 160 ayat (3) jo ayat (60. Namun apabila pengadilan (Peradilan Umum) memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir, dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan kembali (Pasal 160 ayat (4). Sebaliknya dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat (langsung) melakukan PHK kepada pekerja/buruh yang bersangkutan tanpa ijin atau penetapan lembaga PPHI (Pasal 160 ayat (5) dan ayat (6) UU No.13 tahun 2003).

Hak Pekerja/Buruh yang Ditahan atau selanjutnya di-PHK.

Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan kesalahan tindak pidana (bukan atas pengaduan pengusaha), maka pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang bersangkutan yang menjadi tanggungannya sebagai berikut :

a. 1 orang, 25 % x upah;

b. 2 orang, 35 % x upah;

c. 3 orang, 45 % x upah;

d. 4 orang/lebih, 50 % x upah (Pasal 160 ayat (!)).

Bantuan tersebut hanya diberikan paling lama 6 (enam) bulan takwim, terhitung sejak hari pertama ditahan oleh pihak yang berwajib (Pasal 160 ayat (2)). Selain pengusaha memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh. Apabila pekerja/buruh di PHK, pengusaha wajib membayar hak-hak pekerja/buruh yang di-PHK karena alasan ditahan pihak yang berwajib tersebut, yakni UANG PENGHARGAAN MASA KERJA (satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)) dan UANG PENGGANTIAN HAK (sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)).

3. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pekerja/Buruh Melanggar Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama

Pengusaha dapat melakukan PHK apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan (Klausul Perjanjian) yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama. PHK tersebut baru dapat dilakukan setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberi Surat Peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut, yakni Surat Peringatan Pertama, Kedua dan Ketiga yang masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan.

Jangka (tenggang) waktu 6 (enam) bulan tersebut dapat diatur dan ditetapkan lain sepanjang disepakati dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama.

Hak Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan pelanggaran dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama memperoleh hak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja masing-masing 1 (satu) kali, dan uang pesangon, uang penggantian hak sesuai ketentuan.

4. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Mengundurkan Diri

Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (Izin). Syarat yang harus dipenuhi apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri( agar mendapatkan hak-haknya dan mendapat surat keterangan kerja -eksperience letter )) sebagaimana dimaksud pada Pasal 162 UU No. 13 tahun 2003 adalah :

a. pemohonan tertulis harus diajukan selambat-lambatnya 30 hari (kalender) sebelum (hari h) tanggal pengunduran diri :

b. pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. selama menunggu hari h, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal pengunduran diri dari yang ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi untuk jabatan dimaksud atau dalam rangka transfer of knowledge.

Hak Pekerja/Buruh

Apabila pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, haknya adalah Uang Penggantian Hak dan Uang Pisah. Besar dan jumlah UPH sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat (4). Sedangkan besarnya Uang Pisah tersebut dari pengaturan pelaksanaan- (pemberian)-nya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja Bersama.

5. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perubahan Status, Merger, Konsolidasi Atau Akuisisi

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan pemilikan perusahaan (akuisisi) dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Demikian juga sebaliknya pengusaha dapat melakukan PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan (merger) atau peleburan (konsolidasi) dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) di perusahaannya (baca Pasal 163 UU No. 13 tahun 2003).

Hak Pekerja/Buruh

Dalam hal terjadi PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka terhadap pekerja/buruh berhak uang pesangon 1 (satu) kali, dan uang penggantian hak. Apabila PHK yang terjadi disebabkan karena perubahan status, merger, atau konsolidasi, dan pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan pekerja/buruh, maka terhadap pekerja/buruh berhak uang pesangon 2 (dua) kali, uang penghargaan masa kerja 1 (satu), kali dan uang penggantian hak.

6. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Likuidasi

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan 2 hal, yakni :

a. perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau

b. ada keadaan memaksa (forcemajeur).

Kerugian secara terus menerus dimaksud harus dapat dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik (164 ayat (1) dan (2) UU No. 13 tahun 2003).

Demikian juga pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan :

a. bukan karena perusahaan mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut, atau

b. bukan karena keadaan memaksa (forcemajeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi.

Hak Pekerja/Buruh

Apabila perusahaan tutup karena merugi atau karena force majeur, maka pekerja/buruh berhak uang pesangon, uang penghargaan masa kerja masing-masing 1 kali ketentuan, dan uang penggantian hak.

Namun apabila perusahaan tutup bukan karena merugi atau bukan karena force majeur, maka pekerja/buruh berhak uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan, dan uang pengantian hak.

7. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pailit

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit (bangkrut, bangkrupcy) (Pasal 165 UU No. 13 tahun 2003).

Pernyataan pailit ini harus ditetapkan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Peradilan Umum berdasarkan Undang-undang Kepailitan (Failliissements Verordering sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan UU tentang Kepailitan jo UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi UU).

Hak Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh yang di PHK karena kepailitan berhak atas uang pesangon 1 (satu) kali, uang penghargaan masa kerja 1 (satu ) kali dan uang penggantian hak.

8. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pekerja/Buruh Meninggal Dunia

Hubungan kerja demi hukum berakhir apabila pekerja/buruh meninggal dunia, baik meninggal karena kecelakaan kerja atau kecelakaan di luar hubungan kerja atau meninggal (sakit) biasa (Pasal 166 UU No. 13 tahun 2003).

Hak Pekerja/Buruh

Apabila pekerja/buruh meninggal, kepada ahli warisnya diberikan “sejumlah uang” yang besar perhitungannya sama dengan dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

9. Pemutusan Hubungan Kerja Karena PEKERJA/BURUH PENSIUN

Yang dimaksud dengan usia pensiun dalam UU Ketenagakerjaan adalah batas usia yang ditetapkan oleh pengusaha/perusahaan (sesuai dengan jabatannya) dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 167 UU No. 13 tahun 2003).

Dalam UU Ketenagakerjaan tidak dibedakan antara usia pensiun normal, usia pensiun wajib dan usia pensiun dipercepat sebagaimana diatur dalam UU Dana Pensiun.

Namun dalam konteks kepesertaan pekerja/buruh dalam program pensiun, Menteri Tenaga Kerja mengatur batas usia pensiun normal, yakni 55 tahun dan batas usia pensiun wajib adalah 60 tahun sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor PER 02/MEN/1995 tentang Usia Pensiun Maksimum bagi Peserta Dana Pensiun.

Hak Pekerja/Buruh

Apabila pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya karena memasuki usia pensiun yang telah ditentukan dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak ikut/diikutkan dalam program pensiun, maka pengusaha wajib memberikan uang pesangon 2 (dua) kali, uang penghargaan masa kerja, 1 (satu) kali dan uang penggantian hak (Pasal 167 ayat 5 UU No. 13 tahun 2003).

Apabila pekerja/buruh ikut/diikutkan dalam program pensiun (yang mengusahakan manfaat pensiun) dan iuran/premi sepenuhnya dibayar oleh pengusaha (Pemberi Kerja), maka pekerja/buruh tidak berhak lagi uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, akan tetapi berhak atas uang penggantian hak dan (tentunya) manfaat pensiun (Pasal 167 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003).

Dalam hal pekerja/buruh ikut/diikutkan dalam program pensiun yang iuran/premi sepenuhnya dibayarkan oleh Pemberi Kerja (non contributory) dan jaminan atau manfaat pensiun tersebut memenuhi syarat untuk dapat diterima sekaligus berdasarkan UU Dana Pensiun, maka harus diperhitungkan dan diperbandingkan antara jumlah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sesuai dengan pasal 167 ayat (5) UU No. 13 tahun 2007 dengan hak atas manfaat pensiun yang diterima sekaligus plus uang penggantian hak yang diterima, apabila ternyata terdapat selisih (kurang), maka selisih (kurang) tersebut harus dibayar oleh Pemberi Kerja.

Apabila pekerja/buruh ikut/diikutkan dalam program pensiun, dan oleh para pihak : Pemberi Kerja dan pekerja/buruh akan mengatur dan menentukan lain sepanjang tidak mengurangi hak yang ditentukan UU Ketenagakerjaan dan tidak bertentangan dengan UU Dana Pensiun, maka dimungkinkan untuk diatur dan diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 167 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003.

10. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pekerja / Buruh Mangkir

Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah 2 (dua) kali dipanggil oleh pengusaha secara patut dan tertulis, dapat di-PHK karena dikualifikasi (sebagai) mengundurkan diri (Pasal 168 UU No. 13 tahun 2003).

Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud, harus diserahkan paling lambat pada hari (kesempatan) pertama pekerja./buruh masuk bekerja.

Hak Pekerja/Buruh

Hak pekerja/buruh karena mangkir, berhak atas UANG PENGGANTIAN HAK dan diberikan uang pisah. Disini pemberian uang pisah tidak disyaratkan harus terhadap pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung.

Dengan demikian, siapa saja pekerja/buruh yang mangkir dan memenuhi syarat, berhak untuk mendapatkan uang pisah dan tidak lagi dipersyaratkan harus pada jabatan yang tugas pada jabatan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung.

11. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Permohonan Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI, apabila pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. menganiaya, menghina secara kasar atau (pengusaha) mengancam pekerja/buruh;

b. membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. tidakmembayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan, selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

d. tidak melakukan kewajiban yang telah diperjanjikan kepada pekerja/buruh;

e. memerintahkan kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;

f. memberikan pekerjaan yang membahayakan (keselamatan) jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam PK.

Namun apabila ternyata permohonan PHK tersebut tidak terbukti kebenarannya, dengan kata lain, pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa izin/penetapan dari lembaga PPHI. (baca Pasal 169 UU NO. 13 tahun 2003)

Hak Pekerja/Buruh

Apabila permohonan pekerja/buruh yang bersangkutan dikabulkan oleh lembaga PPHI dan dikemudian dan kemudian di-PHK, maka pekerja/buruh yang bersangkutan berhak atas uang pesangon 2 (dua) kali, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali, dan uang penggantian hak.

Dalam hal pengusaha ternyata tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan, maka terhadap pekerja/buruh dapat di-PHK tanpa penetapan dan tanpa hak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Dalam hal pasal ini tidak disebutkan, mengenai berhak atau tidaknya atas uang penggantian hak, namun tersirat bahwa ia tetap berhak atas uang penggantian hak tersebut.

12. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Sakit Dan Atau Cacat Total Tetap

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaaan kerja (cacat total tetap) dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan, dapat mengajukan PHK. (Pasal 172 UU No. 13 tahun 2003)

Hak Pekerja/Buruh

Hak pekerja/buruh yang di-PHK karena sakit berkepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja adalah Uang Pesangon 2 (dua) kali, Uang Penghargaan Masa Kerja 2 (dua) kali, dan uang penggantian hak.

PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan (izin) dari lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karena PHK tanpa izin adalah batal demi hukum (null and void).Pasal 151 (ayat 3) UUK 13 tahun 2003).

Kewajiban Pengusaha Membayar “Uang PHK”

Pada prinsipnya, apabila terjadi PHK maka pengusaha diwajibkan membayar:

- Uang pesangon (UP) dan/atau

- Uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan

- Uang penggantian hak (UPH) kepada Pekerja/ buruh yang ter-PHK.

- Hal-hal lain yag ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

Perhitungan Uang Pesangon

Perhitungan UP didasarkan pada masa kerja (MK) setiap pekerja/buruh sesuai dengan Pasal 156 ayat (2) UU NO. 13 tahun 2003 , sebagai berikut :

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Contoh :

Seorang buruh telah bekerja di suatu perusahaan selama 2 tahun dengan upah Rp.800.000/bln.

Penghitungannya :

= 3 x upah sebulan

= 3 X Rp. 800.000

= Rp. 2.400.000

Maka uang pesangon yang diperoleh sebesar: Rp. 2.400.000

Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (UMPK) sesuai Pasal 136 ayat (3) UU no. 13 tahun 2003, sebagai berikut :

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;

Contoh :

Seorang buruh telah bekerja selama 4 tahun dengan upah Rp. 800.000

Penghitungannya:

= 2 x jumlah upah sebulan

= 2 X Rp. 800.000

= Rp. 1.600.000

Maka uang penghargaan masa kerja yang diperoleh sebesar : 1.600.000

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sesuai dengan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003, meliputi

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur .

b. biaya/ongkos pulang untuk P/B dan keluarganya ke tempat dimana P/B dan keluarganya ke tempat dimana P/B diterima (direkruit);

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % dari UP dan / atau UPMK bagi yang memenuhi syarat.

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.

Contoh: Seorang buruh mendapat uang pesangon sebesar Rp. 2.400.000 dan uang penghargaaan masa kerja sebesar Rp.1.600.000.

Penghitungannya:

= 15% x (uang pesangon + uang penghargaan masa kerja)

= 15% x (Rp.2.400.000 + Rp.1.600.000)

= 15% x (Rp. 4.000.000)

= 15% X 4.000.000

= Rp.600.000

Maka uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang diperoleh sebesar Rp. 600.000

STRATEGI PERLAWANAN TERHADAP PHK

PHK sangat merugikan buruh. Untuk itu diperlukan strategi untuk menghindari terjadinya PHK. Antara lain dengan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Hubungan kerja adalah merupakan salah satu hubungan hukum yang timbul atau lahir karena perjanjian, yakni perjanjian kerja (perjanjian perburuhan).

Dengan adanya perjanjian tersebut, maka lahir perikatan yaitu perikatan dalam hubungan kerja, yang mewajibkan kepada para pihak untuk menunaikan kewajiban dan menuntut hak masing-masing (prestasi dan kontra prestasi).

Dengan adanya perjanjian kerja yang jelas, dan jika kedua belah pihak melaksanakan seluruh kesepakatan dengan baik. Maka PHK dapat dihindari dan kedua belah pihak tidak dirugikan.

Menjadi anggota serikat buruh ataupun membentuk serikat buruh di perusahaan tempat kita bekerja juga merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menghindari terjadinya PHK. Dengan berserikat maka buruh akan kuat. Seperti lidi jika hanya sebatang mudah sekali untuk dipatahkan, namun jika seikat maka sulit untuk dipatahkan.

Tujuan utama serikat buruh adalah memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi buruh dan keluarganya. Melakukan upaya regulasi (peraturan di pabrik) atau control terhadap pengusaha. Yakni, ikut serta dalam menyusun peraturan di suatu perusahaan tertentu untuk mendapatkan upah yang layak, tidak di PHK sewenang-wenang, dan lain-lain.

PENUTUP

Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa pengusaha tidak dapat melakukan PHK sewenang-wenang. Karena dalam UUK telah diatur dan ditetapkan peraturan dan prosedur yang harus dilewati pengusaha sebelum melakukan PHK.

PHK juga dianggap batal secara hukum jika tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan PHK yang ditetapkan. Yaitu jika tidak ada ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial.

Selain itu, jika memang PHK tidak dapat dihindari lagi. Maka si buruh yang di-PHK berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan tunjangan-tunjangan lainnya.

Tetapi yang paling baik adalah menghindari terjadinya PHK. Karena ketika si buruh di PHK maka tidak ada lagi jaminan hidup baginya dan keluarganya. Karena itu pembuatan perjanjian kerja bersama dan berserikat merupakan jalan keluar yang dapat ditempuh buruh untuk melindungi hak-haknya..

Kamis, 29 Oktober 2009

Artikel : KEADILAN UPAH BAGI BURUH

PROBLEMA KEADILAN UPAH BAGI BURUH

(oleh : Gindo Nadapdap)

Pendahuluan

Setiap tahun buruh di Indonesia selalu dikecewakan oleh keputusan pemerintah tentang Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota. Kecewa, karena kenaikan upah yang terjadi tidak pernah sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Benar secara nominal setiap tahun upah buruh naik (misalnya UMP Sumut 2006 sebesar Rp.637.000,- dinaikkan menjadi Rp.761.000,- UMP 2008), tetapi bukan berarti secara riel peningkatan upah berarti peningkatan kesejahteran. Bisa saja upah buruh mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi kenaikan upah lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga-harga mengakibatkan daya beli dari upah buruh lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Tentu kita belum lupa bagaimana pemerintah sudah menaikkan harga BBM sebesar 300% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dimana kenaikan BBM tersebut pasti diikuti dengan kenaikan seluruh harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Dan ini tidak sebanding dengan persentase kenaikan upah buruh pada 5 tahun terakhir di seluruh Indonesia yang belum mencapai 300%. Dengan demikian dapatlah disimpulkan sebenarnya belum pernah terjadi kenaikan upah buruh, tetapi yang terjadi hanya sekedar penyesuaian upah dengan kenaikan harga-harga kebutuhan. Itupun sampai sekarang belum sesuai.

Dalam sejarah pengupahan buruh di Indonesia (pasca kemerdekaan) kualitas upah dari waktu ke waktu mengalami degradasi. Pada jaman Orde Lama upah diberikan dalam dua bentuk yaitu upah nominal dan tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh dan keluarganya berupa beras, ikan asin, minyak goreng, dll. Bahkan dikenal istilah Catu-11 terdiri dari 11 jenis kebutuhan pokok sehari-hari bagi buruh dan keluarga yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian kebutuhan fisik buruh dan keluarganya dijamin, disamping juga menerima upah dalam bentuk uang nominal. Sisa-sisa catu 11 tersebut sampai sekarang masih ditemukan di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, al : tunjangan beras dan minyak goreng setiap bulan yang diberikan pengusaha.

Setelah Orde Baru, terjadi perubahan yang dashyat. Kebijakan upah murah dijadikan primadona untuk menarik investor asing. Kabar tentang catu-11 raib tak jelas kuburannya, bahkan peraturannyapun tidak dapat ditemukan. Sebelum kebijakan UMR ditetapkan tahun 1995, tidak ada ketentuan yang jelas mengatur upah buruh sehingga pengusaha leluasa memberikan upah yang murah kepada buruh.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini, telah mendorong buruh melakukan pemogokan besar-besaran dari tahun 1990 – 1994, yang akhirnya memaksa pemerintah menetapkan Upah Minimum Regional setiap bulan April sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 yang kemudian diubah menjadi Upah Minimum Propinsi.

Krisisi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 yang kemudian membuat Indonesia masuk kepada perangkap kapitalisme global, pada perkembangannya mengakibatkan perlindungan Negara terhadap upah buruh semakin tidak jelas. Kebijakan upah murah tetap menjadi primadona untuk menarik investor asing. Katanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran yang terus bertambah. Walaupun pada kenyataannya tidak pernah dapat mengatasi atau setidak-tidaknya mengurangi pengangguran.

Dipaksakannya UU No. 13 tahun 2003 berlaku dengan sistem flm (fleksibility labour market system) kemudian mengakibatkan pengupahan buruh semakin runyam. Penerapan buruh kontrak dan outsourcing secara bebas tanpa control pemerintah, pada akhirnya telah membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ke depan, pengupahan buruh akan semakin menyulitkan buruh, jika perjuangan Pengusaha melalui Apindo dan Kadin berhasil menghapuskan campur tangan pemerintah melalui penetapan upah minimum dan menggantinya dengan penentuan upah berdasarkan kepentingan pasar. Jika ini menjadi kenyataan, maka tidak akan ada lagi perlindungan Negara terhadap upah buruh.

Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa perjuangan buruh Indonesia atas hak penghidupan (pengupahan) yang layak akan semakin sulit. Namun demikian, buruh tidak boleh menyerah karena jika buruh diam, maka akan semakin leluasalah pengusaha dan penguasa menghisap dan memeras tenaga buruh dengan sangat murah.

Upah Layak vs Upah Minimum

Pengaturan upah layak bagi buruh dapat ditemukan pada berbagai ketentuan. Diantaranya DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) yang menetapkan bahwa buruh berhak menerima upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diantaranya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan kebutuhan sosial. Indonesia adalah salah satu negara yang sudah meratifikasi DUHAM, sehingga memiliki kewajiban dan pertanggung-jawaban terhadap dunia internasional untuk menjamin bahwa buruh menerima upah yang layak.

Indonesia sendiri sebagai negara hukum telah menjamin penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya (Pasal 27 UUD 1945). Bagi buruh penghasilan tersebut diterjemahkan sebagai upah. Selanjutnya Pasal 88 UU No. 13 tahun 2003 mengatur bahwa penetapan upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan yang hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya.

Lantas apa yang dimaksud dengan upah layak ? Seseorang menjadi buruh adalah karena dia sama sekali tidak memiliki modal (alat-alat produksi) untuk berusaha sendiri. Buruh tidak memiliki modal seperti halnya petani yang memiliki tanah dan alat pertanian, atau seperti tukang yang memiliki alat-alat pertukangan. Oleh karenanya buruh menjual tenaganya kepada pemilik modal agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja tersebutlah maka si buruh akan menerima upah sebagai imbalan atas tenaganya, sehingga si buruh mampu memenuhi segala biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerjanya yang sehat secara fisik dan di pabrik.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi sebagai berikut :

- Kebutuhan fisik meliputi segala kebutuhan untuk menjaga kesehatan fisik (raga) buruh agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja. Kebutuhan ini meliputi : kebutuhan gizi, baik untuk tubuh maupun otak.

- Kebutuhan beristirahat. Dibutuhkan biaya untuk menciptakan kesempatan beristirahat dan memulihkan tenaga yang telah dihabiskan dalam proses produksi antara lain : komponen biaya untuk tempat tinggal (termasuk listrik dan air) dan rekreasi.

- Kebutuhan atas kesehatan fisik dan lingkungannya antara lain dengan mandi, berpakaian layak dan sehat, dan berolahraga.

- Kebutuhan transportasi. Dibutuhkan sejumlah biaya untuk menghadirkan si buruh secara fisik di pabrik-pabrik.

- Kebutuhan mental meliputi hal bagaimana buruh mampu menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Buruh harus mampu meningkatkan dirinya, meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial semacam gaptek. Ia harus memiliki kesempatan membaca, mendengar dan menonton berita, mendapatkan buku-buku-bukuyang dapat menuntunnya memahami dunia.

- Kebutuhan komunikasi. Seorang buruh sebagai manusia, juga memiliki kebutuhan komunikasi yang perlu diberi alokasi secara wajar untuk berkomunikasi jarak jauh dalam komponen upah.

- Kebutuhan berkeluarga. Setiap orang butuh untuk mendapatkan pasangan hidup dan meneruskan keturunannya. Hal ini sesuai dengan tuntutan sosial dan spritualyang diberlakukan masyarakat. Karenanya, perhitungan upah tidak boleh berdasarkan kebutuhan lajang semata, tetapi harus memperhitungkan kebutuhan untuk berkeluarga. Dengan kata lain kebutuhan isteri dan anak-anak buruh haruslah dihitung dalam menentukan upah.

Penegasan kebutuhan hidup layak sebagai dasar penetapan upah layak bagi buruh dan keluarganya walau sudah tegas diatur pada konstitusi, kemudian hanyalah slogan semata. Karena kemudian pemerintah kita menghilangkannya dengan PMTK No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Peraturan ini meminimalisasi upah layak dengan standart kebutuhan hidup lajang dengan komponen-komponen yang sangat minimal.

Berbagai dalil untuk mendukung pertumbuhan investasi di Indonesia menjadikan buruh sebagai korban yang harus menerima upah murah (upah minimum). Kegagalan pemerintah membangun infrastruktur (seperti fasilitas jalan yang lancar, dll), menjaga keamanan, membangun birokrasi yang sehat dan bersih, memberantas korupsi dan pungutan liar, dan lain-lain, selalu diabaikan dan terus mempertahankan kebijakan upah murah sebagai primadona penarik investor asing. Keadaan ini menjadikan upah layak seolah-olah mimpi bagi buruh yang sangat sulit diwujudkan.

Lahirnya PMTK No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak telah memupus harapan buruh untuk memperoleh upah yang layak, karena beberapa alasan sebagai berikut :

- Penentuan upah minimum didasarkan pada standart kebutuhan seorang lajang.

- Penetapan upah minimum didasarkan pada nilai KHL kabupaten/kota terendah di propinsi yang bersangkutan.

- Penetapan upah minimun ditetapkan dengan gubernur dengan mempertimbangkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu.

- Harga komponen-komponen kebutuhan yang dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum pada umumnya merupakan harga-harga terendah.

Dengan demikian sepanjang PMTK 17 berlaku, maka buruh jangan berharap penetapan upah dapat menjadi layak. Ditambah lagi dengan problem Dewan Pengupahan yang dikuasasi oleh kepentingan Pengusaha. Perwakilan Pengusaha dan Pemerintah termasuk akademisi selalu berkolaborasi untuk mempertahankan kebijakan upah murah. Jika voting terjadi, maka suara buruh pasti kalah.

Propaganda pemerintah tentang KHL sebagai dasar penetapan upah sebenarnya merupakan suatu kebohongan. Hanya perubahan istilah saja yang terjadi, dulu dikenal upah berdasar KFM (Kebutuhan Fisik Minimum), lalu upah berdasarkan KHM (Kebutuhan Hidup Minium) dan Sekarang memakai istilah KHL (Kebutuhan Hidup Layak. Tetapi pada hakekatnya sampai sekarang tidak benar KHL telah dipergunakan sebagai dasar penetapan upah, karena PMTK 17 Pasal 5 sendiri telah menyatakan : bahwa penetapan upah minimum dilaksanakan secara bertahap dan tahapan pencapaian KHL tersebut ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan kondisi pasar kerja, usaha yang paling tidak mampu (marginal) di Propinsi/Kabupaten/Kota serta saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Propinsi/ Kabupaten/Kota.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut, maka PMTK 17 merupakan penghalang penetapan upah layak. Kebijakan Upah Minimum (Murah) masih merupakan garis kebijakan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, maka upah buruh di Indonesia tergolong rendah. Malaysia, Hongkong dengan upah yang lebih tinggi, justeru menghadirkan investasi yang yang banyak dari Indonesia. Investor justeru hengkang dari Indonesia ke negara-negara tetangga.

Di samping itu perjuangan buruh Indonesia jangan semata-mata mempersoalkan persentasi kenaikan upah setiap tahun. Tetapi harus dapat merubah kebijakan upah dan upah murah menjadi upah layak. Pada tingkat nasional PMTK 17 harus diperjuangkan dicabut. Sedangkan ditingkat Propinsi dapat menuntut kepada Gubernur agar membuat peraturan daerah tentang tahapan pencapaian khl sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PMTK 17.