Rabu, 05 Agustus 2009

PROBLEMA BURUH BERSIDANG DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

By : Gindo Nadapdap, SH Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibentuk berdasarkan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengadilan ini berfungsi untuk memutuskan perselisihan antara buruh dan pengusaha meliputi : perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat buruh. Pada awalnya PHI diharapkan mampu mengatasi kekecewaan buruh terhadap Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) yang dinilai sangat lamban, bertele-tele dan tidak pasti. Sehingga, setelah lebih 1,5 tahun PHI, maka saatnya menilai kinerja PHI. Apakah PHI dapat berlangsung dengan adil, cepat, murah dan berkepastian hukum? Karena UU No. 2 tahun 2004 mengatur penyelesaian perselisihan perburuhan mulai dari perundingan bipartit sampai putusan final dari PHI dan MA selesai dalam tempo 150 hari. LEMAHNYA KEDUDUKAN PERUNDINGAN BIPARTIT DAN MEDIASI Idealnya penyelesaian perselisihan perburuhan diselesaikan melalui perundingan bipartit antara buruh/serikat buruh dengan pengusaha. Mareka berunding dan membuat kesepakatan, maka selesailah perkara. Tetapi lahirnya UU No. 2 tahun 2004 telah mematikan kekuatan perundingan bipartit. Pasal 3 ayat (3) UU No. 2 tahun 2004 yang berbunyi : ”apabila dalam jangka waktu tiga puluh (30) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal”. Pasal ini mengakibatkan posisi perundingan bipartit tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Penyelesaian tahap kedua bila perundingan bipartit gagal yaitu mediasi dengan fungsi melakukan mediasi dalam rangka menyelesaikan perselisihan perburuhan di instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota juga lemah. Pendapat mediator yang disebut anjuran tidak mengikat dan para pihak berhak menolaknya. Sehingga mediasi bersifat administratif belaka. Setelah anjuran terbit, pengusaha bersifat pasif. Hal ini memaksa buruh mengajukan gugatan ke PHI. Sangat jarang ditemukan pengusaha menggugat ke PHI, termasuk dalam perkara PHK. Pada hal berdasarkan pasal 151 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan ”…..pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Selanjutnya Pasal 152 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 menegaskan : ”permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai dengan alasan yang menjadi dasarnya”. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud tersebut adalah PHI berdasarkan UU No. 2 tahun 2004. Tetapi ketentuan tersebut tidak dilengkapi dengan sanksi, sehingga tidak efektif. Contoh, dari 165 kasus perselisihan PHK di PHI Medan sejak 28 Maret 2006 – Juli 2007) semuanya adalah gugatan yang diajukan oleh buruh. Tidak satupun permohonan penetapan PHK diajukan pengusaha. Hal ini menguntungkan pengusaha dan lebih diuntungkan lagi oleh ketentuan UU No. 2 tahun 2004, Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan : ”dalam hal anjuran ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”. Pasal ini sesuai dengan hukum acara yang diberlakukan di PHI yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku di peradilan umum (Pasal 57 UU No. 2 tahun 2004). Dengan demikian ada kontradiksi antara UU No 13 tahun 2003 dengan UU No 2 tahun 2004. Lemahnya kedudukan perundingan bipartit dan mediasi mengakibatkan seluruh perselisihan hubungan industrial menumpuk ke PHI dan Mahkamah Agung. Informasi dari Dirjen Penyelesaian Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Depnakertrans RI Drs Muzni Tambusai MSI, jumlah perselisihan perburuham selama tahun 2005 tercatat 114 ribu yang masuk ke PHI dan MA. Ini belum termasuk kasus tahun 2006 dan 2007. HUKUM ACARA DI PHI DAN MA BERTELE-TELE Hukum acara perdata dipraktekkan secara kaku di PHI, meliputi : pembuatan/pendaftaran surat gugatan, upaya damai, jawaban, replik, duplik, bukti tertulis/saksi-saksi, konklusi dan putusan hakim. Demikian juga dengan proses kasasi : pemberitahuan putusan PHI, penandatanganan akta kasasi, pembuatan/pendaftaran memori kasasi, pembuatan/pendaftaran kontra memori kasasi, pembacaan berkas oleh para pihak, pengiriman berkas dan selanjutnya putusan dari MA. Lain lagi cerita tentang eksekusi atas putusan hakim yang sangat birokratis dan memakan biaya besar. Inilah konsekuensi dari penerapan hukum acara perdata murni seperti diatur pasal 57 UU No 2 tahun 2004. Pemerintah terlalu ceroboh memberlakukannya karena perkara perdata dengan perselisihan perburuhan sangatlah berbeda. Perkara perdata pada umumnya menyangkut harta benda, sedangkan perselisihan perburuhan menyangkut pekerjaan dan penghidupan buruh beserta keluarganya. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab dan menjamin agar setiap buruh tidak mudah kehilangan pekerjaan dan penghidupannya. Oleh karena itu penanganan masalah perburuhan memerlukan penanganan khusus dengan hukum acara yang khusus. Bukan dengan menggunakan hukum acara perdata yang berbau kolonial dan telah usang itu. Bagi buruh, berperkara di PHI sangatlah sulit. Sejak awal pembuatan dan pendaftaran gugatan buruh sudah kelabakan. Sikap pasif hakim PHI sesuai hukum acara perdata dapat menilai gugatan tidak lengkap/sempurna sehingga gugatan ditolak. Soal biaya lebih ruwet lagi. Biaya gratis atas perkara di bawah Rp.150.000.000.- (Pasal 58 UU No. 2 tahun 2004), hanya isapan jempol. Pengalaman di PHI Medan memaksa buruh mengeluarkan biaya sekurang-kurangnya Rp.750.000.- untuk pembelian materai gugatan, foto kopi gugatan rangkap 7, materai/nazegelen/legasilir bukti-bukti, biaya saksi-saksi, pengambilan putusan, dan lain-lain. Pemeriksaan perkara oleh Majelis Hakim, yang dipimpin oleh hakim karier juga tidak sesuai dengan semangat pemeriksaan yang cepat dan sederhana. Pembuktian suatu kasus seluruhnya tergantung kepada para pihak yang berperkara. Pengusaha jauh lebih lihai karena memiliki uang untuk menyewa advokat prefesional. Tidak jarang di PHI ditemukan untuk kasus PHK 1 orang, pengusaha menyewa 3 orang advokat melawan buruh. Dengan menggunakan hukum acara perdata, maka tempo 150 hari penyelesaian perselisihan perburuhan tidak dapat diwujudkan. Pengalaman lebih 1,5 tahun PHI berjalan belum ada satupun keputusan yang siap dieksekusi. Pihak yang dikalahkan oleh PHI – khususnya pengusaha selalu melakukan upaya kasasi ke MA. PENUTUP Beberapa alasan di atas sebenarnya telah cukup alasan bagi pemerintah untuk mencabut UU No 2 tahun 2004 dan membubarkan PHI. Tidak perlu menunggu aksi demo kaum buruh. Tidak hanya bagi buruh, bagi negara dan pengusaha sistem PHI sekarang sangatlah merugikan. Penyelesaian yang lama, bertele-tele dan tidak berkepastian hukum akan mengakibatkan terganggunya tingkat produktifitas perusahaan. Oleh karena itu, sistem PHI harus diganti dengan sistem yang cepat, sederhana, berbiaya murah dan harus bisa melindungi pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh. Hukum Acara Perdata tidak layak lagi dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Indonesia haruslah memililki hukum acara khusus untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Peradilan atau Badan Khusus Penyelesaian Perselisihan Perburuhan seperti P4D/P ( UU No. 22 tahun 1957) harus diatur oleh Indonesia. P4D/P menurut saya cukup ideal dengan revisi dalam penentuan panitia ad hoc nya, kepastian waktu dan kepastian eksekusi. Perlu diingat masalah perburuhan adalah ranah publib bukan ranah perdata..