Selasa, 07 Juli 2009

Mogok Kerja Buruh PT WRP

Buruh Tolak PHK Semena-mena

Perjuangan buruh WRP dalam mencari keadilan terus dilakukan tanpa putus asa. Berbagai aksi dilakukan dalam menuntut haknya yang telah di zalimi oleh pengusaha. sejumlah instansi terkait dengan masalah itu mereka ditemui agar ada penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Ratusan buruh PT WRP tanpa lelah memilih mendirikan tenda dihalaman gedung DPRDSU yang akan digunakan untuk menginap. Mediasi ataupun rapat rapat dengan pihak management PT WRP membahas nasib sekitar 400 buruh dengan DPRDSU seperti tidak ada manfaatnya. Pihak management PT WRP (Malaysia) tetap tidak mau mempekerjakan kembali buruh yang terdaftar mengikuti demonstrasi beberapa waktu yang lalu.

“PT WRP kini telah merekrut tenaga kerja baru untuk menggantikan kami, bahkan nasib kami ga jelas, apakah di PHK atau dipekerjakan kembali”, ujar beberapa buruh. Namun sebahagian besar buruh yang nginap di DPRDSU lebih memilih di PHK daripada bekerja dengan pengusaha yang berlaku sewenang wenang.

Beberapa dari mereka menduga telah terjadi suap menyuap sehingga persoalan buruh PT WRP tidak terselesaikan sampai saat ini. Dari data yang diterima pphe cyber news beberapa pejabat telah menerima sejumlah dana dari PT WRP. Mulai dari kapolsek hinggga lurah, semuanya mendapat bagian yang tujuannya belum jelas.


Ratusan buruh yang tergabung dalam DPC FSB Kikes melakukan aksi unjuk rasa, Rabu (1/7) di Kantor Gubsu. Mereka mengutuk keras tindakan pengusaha PT WRP Buana Multicorpora dan meminta kepada Gubsu menindak tegas oknum aparat Disnaker yang menyalahgunakan jabatannya demi kepentingan pribadi sekaligus melakukan pengawasan/monitor terhadap kinerja Disnaker tersebut.


PT WRP Buana Multicorpora, kata pengunjuk rasa merupakan PMA asal Malaysia yang berorientasi ekspor berlokasi di Jalan Jermal No.20 Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Labuhan memiliki jumlah buruh 700 orang karyawan tetap dan 400 orang out sourcing telah melakukan PHK terhadap 17 karyawannya.

Menurut mereka, karyawan yang mengundurkan diri agar diberi hak-haknya sesuai dengan kesepakatan yang telah dilakukan. Selain itu, pihak perusahaan juga telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak dan kepentingan buruh yakni tidak adanya upah berkala/skala upah bagi buruh yang telah memiliki masa kerja di atas satu tahun padahal UMK hanya berlaku bagi buruh yang masa kerjanya di bawah satu tahun.
Kerja lembur tak dibayar dengan dalih loyalitas, menghilangkan ekstra fooding dan bonus dengan dalih save cost, perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja tidak memadai dan pemberian uang makan hanya sebesar Rp3.000 dan mewajibkan buruh makan pada kantin di lokasi perusahaan tanpa membawa makanan dari luar serta praktek ‘perbudakan gaya modern’ (buruh kontrak, buruh harian lepas dan buruh borongan/outsourcing) yang tidak sesuai ketentuan.

Pengunjuk rasa juga meminta kepada DPRD Sumut dan DPRD Medan merekomendasikan pencabutan ijin perusahaan PR WRP Buana Multicorpora sera meminta kepada Kapoldasu menangkap dan menyidik pengusaha PR WRP Buana Muticorpora yang telah melakukan tindak pidana ketenagakerjaan. Kepada Konsulat Malaysia di Medan, pengunjuk rasa juga meminta agar menertibkan pengusaha PTWRP Buana Multicorpora supaya membayarkan hak-hak buruh. (elf)

Senin, 06 Juli 2009

Perkembangan Kontrak Kerja (Outsourcing) Di Indonesia

Dari Jaman Kolonial Belanda Sampai Sekarang (2009)

Beberapa waktu lalu, Menakertrans Erman Suparno mengeluarkan statemen kepada public bahwa system kerja kontrak sudah semestinya dihapus. System kerja ini berlaku kemudian setelah UU No. 13 tahun 2003 diberlakukan. Pada jaman Kolonial Belanda, system kerja kontrak adalah praktek di perkebunan-perkebunan sebagai wujud penjajahan asing atas Indonesia. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menghapuskan system kerja kontrak tersebut, tetapi dihidupkan lagi tahun 2003 lalu. Benarkan Pemerintah akan menghapuskannya atau hanya sekedar kampanye untuk memenangkan SBY pada Pilpres Juli nanti ???.

PADA 29 Maret 1902 Cabang Indische Bond menyelenggarakan rapat terbuka di Oranje Hotel, Medan. Ir H van Kol sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) dari Sociaal – Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) datang untuk menghimpun data tentang keadaan di wilayah seberang lautan (Hindia Belanda). Pada rapat tersebut, masalah tenaga kerja di Deli menjadi pokok perbincangan yang penting. Masalahnya sekitar seratus ribu kuli yang bekerja di daerah sekitar Medan ternyata tak mempunyai hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang dibuatnya dengan perkebunan sebelum berangkat ke Deli. Kalaupun mereka berani menghentikan pekerjaan maka hukuman yang bisa dikenakan menurut peraturan poenale sanctie (sanksi hukuman) sangatlah berat.

Pembicara pertama adalah koresponden setempat harian Java Bode. Dalam artikelnya yang selalu anonim, koresponden itu menyatakan dirinya sebagai penentang sengit ordinansi koeli. Dalam kesempatan itu pula, ia menyerang peraturan tersebut dan menyatakannya sebagai perbudakan modern. Pembicara berikut adalah pemilik perusahaan pengerahan tenaga kerja, yang dengan sendirinya tak mau tahu tentang segala segi buruk system itu. Bahkan dengan enteng menekankan bahwa peraturan itu penting dipertahankan.

Yang terakhir mendapat kesempatan berbicara adalah M. J. Van den Brand. Dengan berbagai contoh yang dikutipnya dari berita pers setempat, juga dari prakteknya sendiri sebagai pengacara di ibukota keresidenan itu (Kota Medan), ia mengutuk ordonansi kuli tadi dari segi moral.

Pemberitaan Pers Medan dan sekitarnya tentang diskusi itu menimbulkan gelombang amarah dari pihak para tuan kebun. Mengapa reaksinya demikian hebat?.

Kehidupan kuli kontrak ternyata identik dengan “penganiayaan dan kekejaman”. Van den Brand tidak hanya menentang kaum majikan, melainkan juga pemerintah colonial yang dituduhnya bersekutu dengan para tuan kebun. Tenaga kerja di perkebunan-perkebunan berasal dari Cina dan Jawa, yang setelah menerima uang persekot, mengikat diri untuk bekerja selama tiga tahun. Kontrak yang mereka tanda tangani mencakup sejumlah ketentuan yang mengikat, berisi rincian tentang sifat, jangka waktu dan syarat-syarat lain.

Kisah lengkap kuli kontrak sebagaimana diurai di atas dapat ditemukan di dalam buku yang ditulis oleh Jan Breman berjudul : “Menjinakkan Sang Kuli”. Sebuah system kerja kontrak yang diberlakukan oleh pengusaha perkebunan dengan dukungan pemerintah colonial Belanda melalui Ordonansi Kuli dan Poenale Sanctie. Sebuah system kerja yang tidak memperdulikan nasib para kuli. Kuli bukan dianggap sebagai manusia tetapi hanya kumpulan pribadi-pribadi yang sah dikejami dan dianiaya.

Para kuli kontrak pada kenyataannya tidak pernah dipulangkan ke daerah asalnya.Tenaga Kerja dari Cina tetap di Tanah Deli, demikian juga dengan tenaga kerja dari Jawa tetap menjadi buruh di perkebunan-perkebunan sampai dengan sekarang.

Saat ini, apakah system kerja kontrak sudah hapus dari bumi Indonesia setelah 64 tahun kemerdekaan?

Beberapa waktu yang lalu Menteri Tenaga Kerja Erman Soeparno mengatakan kepada public melalui media bahwa system pekerja kontrak sudah semestinya dihapus. Pernyataan ini merupakan pengakuan pemerintah bahwa system kerja kontrak belum terhapuskan. Sang Menteri mengatakan pemerintah berniat membatasi system pekerja kontrak atau outsourcing. (detic finance, 12/05/2009).

Statemen Menaker ini tentu saja mengagetkan. Karena, selama ini kaum buruh Indonesia berulang kali menuntut kepada pemerintah agar system kerja kontrak dihapuskan. Tetapi tidak pernah digubris. Banyak kalangan menduga statemen Menteri tersebut hanya propaganda rezim SBY untuk memenangkan Pilpres Juli nanti.

Pasca UU No. 13 tahun 2003 disahkan, praktek system kerja kontrak merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing. Pengusaha tidak lagi mau memiliki hubungan langsung dengan buruh/pekerja. Buruh/pekerja menjadi bagian dari sebuah perusahaan pemborong yang tidak pernah memiliki perusahaan. Perusahaan pemborong ini disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTK). Perusahaan ini pada awalnya melakukan bisnis “mengeksport” Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (Singapura, Malaysia, Arab, Jepang, dll). Tetapi pasca berlakunya UU No. 13 tahun 2003, PJTK ini memperoleh lahan baru yaitu “bisnis outsourcing” menyuplai tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Nyaris semua sector mempraktekkan system kerja kontrak saat ini, baik itu perbankan, manufactur, pertanian/perkebunan, bahkan sector pendidikan – pun sudah mulai ikut-ikutan.

Pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 adalah landasan hukum bagi PJTK dan Pengusaha berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai berikut : “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan system kerja kontrak yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia.

Dalam praktek, banyak ditemukan pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang mengatur syarat-syarat outsourcing, terutama terhadap diterapkannya outsourcing pada pekerjaan utama (core business) bukan pekerjaan penunjang. Ini diakibatkan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang (non core business), dalam praktek di lapangan jenis pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan utama atau penunjang sangat dinamis dan belum ada patokan baku untuk menentukan jenis pekerjaan apa saja dalam suatu perusahaan dapat digolongkan sebagai pekerjaan penunjang atau pekerjaan inti.

Dalam mempekerjakan pekerja, maka penandatanganan kontrak kerja akan dilakukan antara perusahaan yang merekrut/melatih tenaga kerja dengan dan antara pekeja dengan perusahaan yang menerima dan melatih buruh/pekerja, hanya tercipta antara buruh/pekerja dan bukan dengan perusahaan tempat buruh/pekerja melakukannya.

Terciptanya hubungan hukum antara PJTK dengan perusahaan pemilik pekerjaan, maka telah terjadi pergeseran defenisi hubungan kerja. Hubungan kerja yang semula diartikan sebagai hubungan antara pengusaha/majikan, yaitu orang atau perusahaan yang mempekerjakan orang lain untuk suatu pekerjaan tertentu dengan memberikan upah dan pekerja, yaitu sebagai orang yang memberikan tenaganya untuk mengerjakan pekerjaan tertentu dengan menerima upah. Dalam outsourcing pembayaran dilakukan melalui pengusaha ke PJTK dan PJTK ke Buruh/Pekerja.

Bagi perusahaan hal ini sangat menguntungkan karena tidak lagi bertanggungjawab atas beberapa komponen yang cukup memberatkan perusahaan seperti misalnya pembayaran pesangon, THR, PHK dan lain-lainnya, karena sudah diambil alih oleh PJTK. Namun tidak demikian halnya bagi tenaga kerja, outsourcing justeru menimbulkan persoalan ketidakpastian hubungan kerja, karena kontrak kerja antara buruh/pekerja dengan perusahaan tidak ada maka yang terjadi adalah no work no pay, yaitu buruh/pekerja tidak akan digaji selama tidak bekerja.

Di dalam prakteknya, system kerja outsourcing oleh perusahaan dimaksudkan untuk :

a. Menghindari pesangon, Tunjangan Hari Raya, Upah, dan hak normative lainnya.

b. Melemahkan gerakan buruh, sebab dengan system ini buruh akan takut untuk berorganisasi.

c. Perusahaan tidak terganggu dengan aksi buruh seperti demonstrasi, mogok, dan lain sebagainya yang mengancam eksistensi produksi perusahaan.

d. Cost recruitment buruh, dan peningkatan kemampuan dan skill buruh tidak lagi menjadi tanggung jawab perusahaan melainkan PJTK.

Selain outsourcing, ada satu lagi system hubungan kerja yang “sangat aneh” tetapi berlangsung dengan luar biasa di perkebunan-perkebunan yaitu system kerja harian lepas. Buruh/pekerja direkrut melalui pemborong dan bekerja setiap hari. Seperti halnya buruh outsourcing, buruh harian lepas sama sekali tidak menerima hak-hak normative selain dari upah harian yang sangat murah – jauh dibawah ketentuan Upah Minimum.

Jika outsourcing memiliki pekerjaannya dalam tempo tertentu yaitu kontrak kerja selama 3 bulan atau 6 bulan, maka buruh harian lepas dapat kehilangan pekerjaannya setiap saat. Nasib buruh harian lepas sangat tergantung kepada kebaikan hati si pemborong. Inilah konsekuensi paling pahit dari kedua system kerja ini, dimana tidak ada lagi kepastian hak setiap warga Negara pekerjaan dan penghidupan yang memberikan jaminan kepada kehidupan keluarga dan hari tuannya.

Sangatlah jelas bahwa system kerja kontrak tersebut bertentantangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan perlindungan hak kepada setiap warga Negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karena itu, sangat wajar jika system kerja tersebut dihapuskan, karena memang dari dahulu sudah ditentang oleh rakyat Indonesia sampai kemerdekaan 17 Agustus 1945 menghapuskannya.

Nah… seriuskan Pemerintah menghapuskan system kerja kontrak seperti yang dilontarkan oleh Menakertrans beberapa waktu lalu ?. Ataukah, ini hanya sekedar kampanye politik supaya buruh kontrak, outsourcing dan harian lepas yang jumlahnya sudah jutaan orang memilih salah satu kanditat capres pada pilpres nanti. Patut diduga demikian, karena system ini sudah berlangsung 7 tahun tetapi tidak pernah direspon oleh pemerintah, justeru menjelang Pilpres Juli 2009 nanti pemerintah mengeluarkan statement hendak menghapuskannya.

Selesai.

(Gindo Nadapdap,SH - Direktur Eksekutif Ornop Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) Medan.